Aninditha Rahma Cahyadi

2015年10月3日の投稿とメンバーへのコメント

Aninditha Rahma Cahyadi   +232 58

... Angin malam sangat menusuk tulang dan tubuh kecil mereka. Tak bisa berkata apa-apa cuma sesak didada yang aku rasakan. Entah kemana tujuan mereka berjalan, pipiku terasa hangat ketika air mataku mengalir.

Aku tau air mataku lebih mudah keluar dari pada kata kata dari mulutku, karena rasa getir ini tak tertahankan. Aku pun tak mampu melakukan apa -apa untuk mereka.

Kulihat mereka terus berjalan mejauhi taksi yang sedang kunaiki, sambil sesekali kulihat sang kakak mengelus kepala sang adik.

Taksi pun melaju ke tempat yang kutuju. Apalah arti keluh kesahku selama ini di bandingkan apa yang kulihat tadi, sangatlah tak berarti.

Bukankah aku cuma penat dengan rutinitasku, dan ketika aku terbangun dari kasur empukku letih ku hilang, bukankah aku masih ada keluarga yang menanyakan keberadaanku walau keluargaku jauh dariku, bukankah aku masih ada tujuan dimna aku masih bisa berlindung dari dinginnya angin malam yang menusuk tulang, bukankah bebanku tak seberat anak laki-laki tadi terhadap adik yang digendongnya. Jadi nikmat apa lagi yang harus aku dustakan.

Ahh... baru kusadari aku kurang banyak bersyukur selama ini kepadaMu.
Malu aku pada diriku, pada batinku yang kadang masih sering mengeluh tanpa melihat masih banyak yang lebih berat dari beban yang aku rasakan. Tapi aku yakin itu hanya cara Tuhan menegurku dengan gambaran anak laki-laki tadi agar aku lebih banyak bersyukur kepadaNya.

Terimakasih Tuhan atas contoh nyatamu, nikmat yang kau berikan kepadaku selama ini. Kuseka air mataku dengan lengan sweater yang kupakai...






Ini ceritaku :) sampai bertemu di cerita selanjutnya