
Next Chapter...
Mataku menyapu ruang musik dengan cepat, dan berhenti di suatu titik. Gadis cantik, wajahnya yang mungil, kulitnya yang putih namun agak pucat, rambutnya terjuntai sebahu menambah apik parasnya, jemarinya yang lentik memetik sebuah alat musik yang asing bagiku. Dia bukan salah satu siswa disini, Ia tidak mengenakan seragam.
"Hei, siapa kau?" Pertanyaan itu terlontar dengan nada tinggi, campuran dari rasa heran, kagum, dan sedikit takut.
Ia menengadahkan kepalanya dan memandang tepat ke bola mataku.
"Bukankah itu tidak sopan bertanya pada seseorang yang bahkan belum kau tanya namanya?" Jawabannya begitu diplomatis, aksennya menunjukkan bahwa dia bukan dari kota ini.
"Benar juga, maafkan aku, namaku John, setidaknya kau bisa panggil aku begitu,dan kau?" Aku menyunggingkan senyum lebar tanda persahabatan padanya, dan mengulurkan tangan.
"Phantasm, setidaknya engkau bisa memanggil saya demikian" ia tampak kebingungan melihatku mengulurkan tangan, namun akhirnya kami berjabat tangan.
•••
"Tolong, jangan! Ayah.. Ibu..! Jangan bawa mereka! biadab kalian semua! Pergi.. Pergi.. Pergi kataku!"
"Tahu apa kau anak kecil? Kau ingin pergi juga menyusul mereka? Baiklah, akan kukabulkan permintaanmu"
"Tidak.. Tolong lepas! Jangan ganggu aku, apa salahku sampai kalian memperlakukanku begini?"
"Hahahaha, kau mau tahu? Karena kau berbahaya, Fantine"
"Apa maksudmu? Argh.. Sesak sekali.. Tolong.. To......."
Reflek aku melepas jabatan tangan Phantasm dengan kasar saat aku mendengar, setidaknya mungkin kata itu yang paling cocok, sepenggal percakapan tadi. Siapa Fantine? Apa ini ada hubungannya dengan Panthasm?
"Maaf, Phantasm. Bagaimana kau bisa sampai disini?"
"Entahlah, saya tidak pernah ingat apapun sejak saya sampai di tempat ini" wajahnya muram, bunga-bunga disekitar kami melayu seperti dapat merasakan apa yang dirasa Panthasm
"Eh, maaf kalau begitu.. Kalau begitu, dimana kau tinggal? Sudah berapa hari kau disini?"
"Hari? Apa itu hari? Tempat ini begitu janggal, aku ingin pulang"
"Dimana rumahmu?" Aku semakin tak mengerti.
"Keltia, ya rumahku disana"
"Bisa kau ceritakan padaku, Phantasm?"
•••
Keltia, negri yang aman dan damai, tiada air mata, tiada dusta, tiada dengki, tiada pengkhianatan. Keltia dikelilingi lautan yang amat luas. Kami selalu bermain, berkejaran tiada lelah, tiada apapun yang membatasi kami. Ratu begitu jelita dan setiap insan menyukainya.
Udara yang dipenuhi keharuman pohon krysole tiada pernah membuat kami bosan. Pohon krysole.. Ah,pohon itu, pohon yang telah ada sejak sebelum aku diciptakan. Pada pohon tersebut terukir guratan-guratan yang tiada satupun orang dapat menafsirkannya.
Setidaknya, aku tak dapat membayangkan tempat yang lebih indah daripada Keltia, tetapi sekarang aku tidak lagi berada di Keltia, aku ingin kembali.
•••
Ya, ini memang aneh. Phantasm, dia bukan berasal dari dunia yang sama denganku. Aneh, tapi ini semua nyata. Haruskah aku membantunya untuk pulang? Atau, haruskah aku membiarkannya?
Matahari senja bersinar indah, aku dan Phantasm menatapnya bersama.
“Phantasm, dimana kau akan tinggal hari ini?”
“Entahlah, mungkin aku akan tinggal disini”
“Ayo ikut aku, kau bisa tinggal bersamaku.”
Belum selesai kami berdiskusi, sebuah kertas terbang dan jatuh tepat dikakiku. Sebuah puisi pikirku. Otakku berusaha keras mengartikan tiap larik dalam puisi tersebut, namun, semakin lama puisi ini semakin mirip dengan ramalan yang pernah kubaca dalam novel.XXX
“Kerajaan terasing, ratu yang jelita
Tiada dusta, perih, duka, lara
Iri timbulkan petaka
Hati tulus dapat hapuskannya
Dua akan kembali
Membawa harapan yang hampir mati
Kembali dalam bahaya dan misteri
Pulihkan ingatan yang tersembunyi
Kerja sama akan terasa sulit
Keberanian kalahkan si jahat”
Kira-kira itulah arti dari puisi atau mungkin ramalan yang aku baca barusan, karena ditulis dalam bahasa Inggris, sayangnya hanya sebagian yang kudapat, entah sebagian lagi dimana.
Saat kami berjalan melalui koridor, sesuatu membuatku menghentikan langkahku. Ya, tersengar suara dari ruang di bawah tangga. Kuberanikan diriku dengan Phantasm disampingku yang juga seperti tersihir mendengar bunyi tersebut, kami melangkah mendekat dan berpandangan satu sama lain.
Kurang lebih lima menit kami hanya berdiam diri, sebelum aku mendorong pintu tersebut dengan perasaan yang tak karuan. Pintu tersebut terbuka, dan menunjukkan sebuah teka-teki kurasa
Not balok, pintu tersebut meminta sebuah kode yang terdiri dari not balok. Aku dan Phantasm kembali berpandangan, lalu Phantasm mengangkat alat musiknya dan memainkan nada yang konstan, jemariku bergerak memasukkan not balok yang dimainkan Phantasm
"Do mi re mi fa la si sol do"
Krek...
Pintu terbuka, mata kami menyapu ruangan. Sepertinya ruangan ini adalah gudang sekolah yang sudah lama tidak dibuka, debu bertebaran menyesakkan jalan nafas kami. Dari kejauhan, kulihat benda yang tertutup kain dan bergerak. Phantasm mencengkram lenganku, seketika itu juga aku menoleh kearahnya. Wajahnya pucat, dia terlihat sangat kepayahan memegangi kepalanya, seperti ada sesuatu yang hendak meledak.
"Phantasm, kau kenapa?" Tanyaku khawatir
"Kepalaku sakit sekali, aku tidak apa-apa, kita harus melihat benda itu"
"Baiklah, pegangan padaku"
Phantasm tidak menjawab, matanya terus tertuju pada benda tersebut. Aku memapahnya sambil terus berwaspada akan setiap kemungkinan yang ada seperti lantai kayu yang sudah usang ini akan roboh, namun itu tidak terjadi hingga kami berdiri tepat dihadapan benda tersebut
Phantasm menghela nafas sebentar dan dibukanya kain penutup benda tersebut.
